Di kota Liverpool Inggris, tempat John Lennon melahirkan kelompok musik yang
pernah merubah sejarah dunia, saya pernah mengalami sebuah pengalaman
kemanusiaan yang amat menyentuh. Setelah antre cukup lama di kantor imigrasi,
guna memperpanjang visa isteri saya, lebih-lebih setelah mendengar orang di
antrean depan ditanya dan dimaki sana-sini, hati ini sempat kecut juga. Belum lagi
ditambah dengan stok tiket return yang batasnya hari itu juga. Plus tidak ada uang
untuk menyewa hotel kalau terpaksa menginap. Begitu cekaknya keuangan,
bekalpun membawa dari kota Lancaster yang berjarak sekitar empat jam perjalanan
kereta api.
Sesampai di depan petugas, saya terangkan maksud kedatangan saya. Ketika
petugas tahu, bahwa visa yang mau diperpanjang adalah visa isteri, ia bertanya
apakah saya membawa akte pernikahan. Busyet, saya lupa membawanya. Kalaupun
saya bawa, pasti ia tidak mengerti karena dalam bahasa melayu.
Saya sudah siap-siap mental dimaki sebagaimana orang Pakistan di depan, atau
disuruh kembali lain waktu. Tiba-tiba saja saya ingat lagu John Lennon yang berjudul
Imagine, yang bertutur mengenai mimpi John tentang kehidupan manusia yang
tanpa agama, bangsa dan atribut lain yang memisahkan.
Di tengah lamunan akan John Lennon tadi, tiba-tiba saya dikejutkan oleh suara
petugas imigrasi yang menemukan kata Bali sebagai tempat lahir isteri saya di
pasport. Dengan ekspresi yang amat bersahabat ia bertanya, di bagian mana dari
Bali ia lahir, apakah kami sekeluarga senang tinggal di Inggris, dan sederetan
pertanyaan yang sangat menghibur.
Ketika saya tanya balik, kenapa ia demikian bersahabat setelah tahu kami dari Bali,
petugas tadi menceritakan pengalaman pribadinya yang pernah ditolong orang Bali,
ketika mengalami kecelakaan saat berwisata di pulau dewata ini. Singkat cerita,
semua urusan menjadi beres hanya karena ada kata Bali di pasport.
Mirip dengan pengalaman di Liverpool, di Manchester saya juga pernah
diselamatkan nasib baik. Setelah menempuh penerbangan dari Paris yang
melelahkan, saya ikuti saja antrean manusia yang ada di depan guna diperiksa
imigrasi. Setelah pegal berdiri setengah jam, dan akan memperoleh giliran bertatap
muka dengan petugas imigrasi, baru saya tahu walau saya antre di tempat yang
keliru. Sebagai warga Indonesia, saya antre di tempat yang ditujukan untuk warga
masyarakat Eropa.
Padahal, pesawat berikut ke tempat lain mesti take off kurang dari sejam lagi.
Saya sudah pasrah, what will be, will be. Pertama-tama, tentu saja petugasnya
cemberut melihat tampang saya. Lebih-lebih setelah melihat passport yang berisi
gambar burung garuda. Namun, karena kesabaran petugas, dibuka juga itu passport
sambil bertanya, di mana saya tinggal selama di Inggris. Setelah saya jawab dengan
sebutan desa Galgate di pinggiran kota kecil Lancaster, tiba-tiba wanita di depan
saya wajahnya sumringah. Dengan akrab dia bercerita tempat lahirnya.
Penduduk desa kecil yang amat bersahabat. Buah apel yang bisa dipetik siapa saja
oleh penduduk desa Galgate. Orang-orang tua jompo yang penuh senyum dan
persahabatan tanpa pamrih dan masih banyak lagi yang lain. Dan, tiba-tiba saja petugas imigrasi ini minta saya menunggu sebentar, sementara ia pergi membawa
passport saya ke counter lain.
Tidak lebih dari tiga menit, ia sudah mengembalikan passport saya lengkap dengan
stempel imigrasi. Sambil berpesan: sampaikan salam kangen saya buat penduduk
desa Galgate.
Boleh percaya boleh tidak, saya mengalami kejadian-kejadian seperti ini, dalam
frekuensi yang cukup sering. Sejumlah rekan Tionghoa yang mengerti petunjuk hoki,
menyebut saya manusia hoki karena bentuk hidung, telinga dan dagu yang cocok
dengan ciri-ciri hoki. Sebagai manusia biasa, saya memang memiliki banyak
kekurangan. Disebut sering suka cerita yang porno dan jorok. Suka 'ngompol'
(ngomong politik).
Berteriak kalau lagi marah besar di rumah. Wika, Adi dan Suci adalah manusiamanusia
yang paling tahu daftar kekurangan saya. Akan tetapi, sejak umur yang
sangat kecil, saya dibiasakan oleh seorang kakak, untuk mengumpulkan daftar
tindakan-tindakan kecil yang tidak bernama.
Tidak dikenal. Tidak dihitung. Namun, berguna buat alam dan orang lain.
Bukan pada tempatnya, kalau saya membeberkan daftar tindakan-tindakan saya di
kolom ini. Yang jelas, ada semacam kesegaran dalam jiwa, sesaat setelah
melakukan tindakan-tindakan tidak dikenal dan tidak bernama. Kepala yang pusing,
tiba-tiba jadi membaik. Kantong cekak yang membuat dahi berkerut, berubah
menjadi ucapan terimakasih ke Tuhan. Isteri yang tadinya kelihatan seram jadi
lembut dan cantik.
Banyak hal bisa berubah setelah melakukan tindakan-tindakan model terakhir.
Saya tidak tahu, apa ini sebuah sugesti, atau ada tangan-tangan kekuatan alam
yang membuatnya demikian. Yang jelas, alam bisa demikian perkasa dan bertahan
lama, karena bergerak dalam siklus memberi, memberi dan memberi. Rumput hijau
memberi kesejukan. Matahari membawa energi. Air menghadirkan kehidupan.
Adakah mereka membutuhkan imbalan lebih?
Belajar dari ini semua, saya berusaha untuk mematikan keran di tempat umum yang
lupa ditutup orang lain. Membukakan pintu ke orang lain yang tidak dikenal di lokasilokasi
publik. Mengembalikan posisi pohon yang roboh. Mengubur kucing yang mati
digilas mobil orang.
0 Komentar:
Post a Comment