Ada sejenis kecemburuan tersendiri kalau saya melihat seorang pelukis sedang
melukis. Melalui kegiatan bercakap-cakap dengan diri sendiri, seorang pelukis
kemudian mengungkapkan hasil percakapan tadi ke dalam sebuah lukisan.
Sehingga bagi siapa saja yang cukup peka untuk memaknai karya seni, ia bisa
menerka percakapan apa yang terjadi di balik banyak lukisan.
Agak berbeda dengan pelukis di mana lukisanlah salah satu hasil percakapannya
dengan diri sendiri, kita manusia biasa memiliki juga hasil dari percakapan panjang
kita bersama diri sendiri. Dan hasil yang paling representatif adalah badan yang kita
bawa kemana-mana selama hidup. Atau kalau mau lebih dalam, jiwa adalah salah
satu hasil lain dari percakapan jenis terakhir ini.
Dilihat dalam bingkai berpikir seperti ini, hidup ini isinya serupa dengan kegiatan
melukis. Bedanya dengan pelukis, kita sedang melukis diri kita sendiri. Mirip dengan
pelukis, ada aspek yang disengaja ada juga aspek yang tidak disengaja. Dan
percakapan adalah kuas, kertas, warna yang menjadi bahan-bahan kita dalam
melukis. Dalam tingkat penyederhanaan tertentu, apapun yang kita percakapkan
dengan diri sendiri akan memberikan warna terhadap lukisan (baca : wajah) kita
sendiri.
Coba Anda perhatikan orang-orang yang suka sekali bicara negatif. Dari ngerumpi
kejelekan orang lain, iri, dengki, menempatkan orang lain dalam posisi tidak pernah
benar, sampai dengan suka berkelahi dengan banyak orang. Perhatikan badan dan
sinar mukanya, bukankah berbeda sekali dengan orang lain yang percapakannya
lebih banyak berisi hal-hal yang positif ?
Lebih dari sekadar memiliki wajah berbeda, orang yang isi percakapannya hanya
dan hanya negatif, juga berhobi memproduksi penyakit yang akan dihadiahkan pada
tubuhnya sendiri. Berbagai jenis penyakit siap menawarkan diri secara amat suka
rela kepada orang-orang jenis ini. Dari penyakit fisik sampai dengan penyakit psikis.
Di luar kesengajaan mereka, atau bersembunyi di balik ‘kesenangan’ sesaat, orangorang
seperti ini sedang memukul, menusuk dan bahkan menghancurkan badan dan
jiwanya. Kalau kemudian lukisan kehidupannya berwajah hancur lebur, tentu bukan
karena sengaja dihancurkan orang lain.
Dalam bingkai renungan seperti ini, layak dicermati kembali bagaimana persisnya
kita bercakap-cakap dengan diri sendiri setiap harinya. Entah ketika di depan cermin,
entah tatkala berhadapan dengan banyak perkara, entah di manapun kita selalu
bercakap-cakap dengan diri sendiri. Tidak hanya sejak bangun pagi sampai tidur
malam kita melakukan percakapan, bahkan ketika tidurpun kita bercakap-cakap
dengan diri sendiri.
Kalau semuanya bisa digerakkan dari tataran kesadaran semata, semua orang
hanya mau bercakap-cakap yang positif saja. Sayangnya, kekuatan di balik
percakapan tidak saja berada di wilayah kesadaran. Ia juga berakar dalam pada
wilayah-wilayah di luar kesadaran. Di sinilah letak tantangannya. Orang-orang yang
terlalu lama memformat lukisannya dengan percakapan-percakapan negatif, tentu
dihadang tantangan yang lebih besar. Demikian juga sebaliknya.
Akan tetapi, seberapa besarpun tantangannya, pilihan diserahkan ke kita, akankah
kita membuat lukisan diri sendiri yang berwajah indah, atau bopeng mengerikan di sana-sini. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, percakapan memang
kendaraan yang amat menentukan dalam hal ini.
Seorang sahabat jernih pernah memberikan pedoman amat sederhana dalam hal ini :
speak good, or be silent. Bicaralah hal-hal yang baik saja, kalau tidak bisa diamlah.
Tampaknya terlalu sederhana, tetapi menangkap esensi yang paling esensi.
Sekaligus memberikan kompas, ke arah mana perjalanan percakapan sebaiknya
dilakukan.
Tertawa tentu saja boleh dan bahkan sehat. Namun tertawa dengan cara
mentertawakan kekurang fisik orang lain tentu saja layak untuk dikurangi. Waspada
dan hati-hati juga tidak salah, namun curiga apa lagi menuduh orang lain tanpa bukti
mungkin perlu rem yang menentukan dalam hal ini. Demikian juga ketika melihat
kekurangan orang lain, atau juga kekurangan diri sendiri. Serakah misalnya, kenapa
tidak dibelokkan menjadi serakah belajar dan berusaha. Kebiasaan mumpung
sebagai contoh lain, mumpung berkuasa kenapa tidak segera menjadi contoh dari
hidup yang lurus dan bersih. Iri hati juga serupa, bisa saja energi-energi iri hati
digunakan sebagai mesin pendorong kemajuan yang amat menentukan. Bentuk
tubuh yang tidak menarik sebagai contoh lain, kenapa tidak digunakan sebagai
cambuk untuk mengembangkan kecantikan dari dalam diri.
Dari serangkaian contoh ini, yang diperlukan sebenarnya kesediaan untuk
senantiasa berdisiplin di dalam diri. Terutama disiplin untuk mendidik mulut dan
pikiran, serta membelokkan setiap energi negatif ke tempat-tempat yang lebih
produktif. Kalau ada yang menyebutnya susah, tentu saja tidak salah. Karena mirip
dengan lukisan indah yang senantiasa dihasilkan pelukis dengan penuh perjuangan,
demikian juga dengan lukisan kehidupan. Kita hanya perlu mengingat sebuah
kalimat sederhana : bicaralah yang baik, atau diam sekalian. Dan atas rahmat Tuhan
lukisan kehidupanpun mungkin berwajah lebih menarik. Setidaknya, itulah yang
sedang saya percakapkan dengan sang diri ketika tulisan ini dibuat.
0 Komentar:
Post a Comment