A. Selayang Pandang
Saat berwisata ke Provinsi Nusa Tenggara Barat (Pulau Lombok), tak lengkap rasanya jika Anda belum menyempatkan diri berkunjung ke sebuah desa wisata tradisional di Kabupaten Lombok Tengah, yakni Dusun Sade. Dusun yang mempunyai luas 6 hektar dan berpenduduk sekitar 700 jiwa ini dikenal sebagai perkampungan suku Sasak yang masih mempertahankan dan memegang teguh tradisi budayanya. Di kampung ini, para penduduk masih mempertahankan arsitektur rumah adat menurut kosmologi Gunung Rinjani, merawat kesenian Gendang Belek, dan meneruskan tradisi menenun kain warisan nenek moyangnya.
Sebenarnya di Pulau Lombok, selain Dusun Sade (Desa Rambitan, Kecamatan Pujut), masih ada sejumlah desa tradisional yang masih mempertahankan adat-budaya suku Sasak, di antaranya Dusun Limbungan, Desa Perigi, Kecamatan Suwela, Lombok Timur, dan Dusun Segenter, Desa Sukadana, Kecamatan Bayan, Lombok Barat. Mungkin, dibanding dengan desa-desa tradisional suku Sasak ini, Dusun Sade tak jauh berbeda, namun Sade lebih familiar di telinga wisatawan, khususnya mancanegara. Tak Aneh, misalnya, jika dusun ini pada bulan Juni 2008, sebagai contoh, telah dikunjungi sekitar 582 wisatawan, yakni 381 wisatawan mancanegara dan 201 wisatawan domestik. Bahkan saat kunjungan wisatawan ramai, warga Dusun Sade yang terdiri dari 152 Kepala Keluarga (KK) di 7 Rumah Tangga (RT) ini, banyak menggantungkan hidupnya di sektor pariwisata.
Warga Dusun Sade secara umum bermata pencaharian sebagai petani, pengrajin tenun kain ikat (khususnya para wanita), menganut agama Islam, serta terkenal dengan konsep 3 waktu/pokok (wetu telu) yang masih hidup dalam kesadaran budayanya yakni lahir, tumbuh, dan mati—seperti tercermin dalam konsep bangunan tangga rumah dan praktik sholat tiga waktu (ajaran Islam wetu telu). Namun kini, konsep wetu telu, seiring perkembangan zaman telah tergantikan oleh konsep wetu lima, yang dibawa oleh ajaran agama Islam, sebagai agama mayoritas. Di antara wilayah yang masih mempertahankan adat-budaya Sasak, Dusun Sade bisa dikatakan sebagai sisa-sisa kebudayaan Sasak lama yang mencoba bertahan sejak zaman Kerajaan Penjanggik di Praya, Lombok Tengah.
Jalan di Dusun Sade
Sumber Foto: Tokyo Tanenhaus
Sebagai salah satu desa tradisional yang merupakan salah satu andalan pariwisata Pulau Lombok, Dusun Sade memang sengaja diberdayakan dan didorong oleh pemerintah setempat untuk terus menjaga keaslian bangunan adat, merawat kesenian tradisonal, serta menjaga warisan tradisi leluhur mereka. Meski televisi, telepon seluler, dan sepeda motor telah menjadi bagian dari keseharian warga, pemerintah daerah bekerja sama dengan pemangku adat dan tokoh masyarakat berusaha dengan gigih mempertahankan konsep arsitektur dan tata ruang desa agar tetap mempertahankan karakter tradisionalnya. Oleh karenanya, sekitar 152 rumah yang tersisa tetap dipertahankan, dan tidak diperkenankan membangun rumah baru di kampung ini, baik bagi warga setempat maupun pendatang, kecuali di dusun-dusun di sekitar Sade.
B. Keistimewaan
Berkunjung ke Dusun Sade sungguh akan menambah pengalaman wisatawan akan eksotisme sebuah pedesaan alami, lengkap dengan lanskap bangunan adat yang masih terjaga keasliannya, tradisi, serta kerajinan masyarakat yang diwariskan secara turun-temurun. Saat pertama memasuki dusun, mata wisatawan akan langsung disambut oleh deretan rumah unik bernuansa tradisional. Rumah-rumah tersebut milik penduduk asli Dusun Sade yang memang telah menetap secara turun-temurun. Oleh penduduk Sade, rumah-rumah ini lazim disebut Bale, dalam bahasa lokalnya.
Jika diperhatikan menurut pola dan bentuk bangunan, sekitar 152 rumah di dusun ini relatif mempunyai bentuk sama, alias seragam. Ukuran rumah-rumahnya juga hampir sama, yakni kira-kira 7 x 5 meter. Yang unik, rumah-rumah ini dibangun dengan menggunakan bahan-bahan alami sebagai dasar konstruksinya. Lihat saja, dinding-dinding rumah ini terbuat dari bambu dan atapnya terbuat dari rumbia. Yang lebih unik lagi, seluruh rumah di dusun ini menghadap Gunung Rinjani, yakni sebuah gunung tertinggi di Pulau Lombok (3.676 m dpal). Arah hadap rumah ke Gunung Rinjani ini dikarenakan kepercayaan bahwa Gunung Rinjani dianggap sebagai tempat bersemayamnya roh-roh leluhur. Yang pasti, corak, karakteristik, dan arah hadap rumah-rumah ini merupakan simbol yang menggambarkan bagaimana warga Sade berinteraksi dengan lingkungan kosmologisnya, dan dengan serentak memaknai hidupnya melalui rumah.
Rumah Tradisional Sasak
Sumber Foto: estebano
Jika tertarik, wisatawan juga dapat mencoba memasuki salah satu rumah dan mengamati detail ruangan-ruangan. Jika telah sampai ke dalam rumah, wisatawan mungkin akan menanggapinya secara sederhana, bahwa rumah ini adalah rumah gelap tanpa jendela. Pintunya pun cuma satu, yakni pintu muka, tempat satu-satunya jalan keluar-masuk orang. Bagi orang Sasak hal ini bermakna bahwa hidup manusia itu harus punya aturan tunggal, ada yang dijaga dan tak boleh dilanggar. Yang menarik, hampir semua pintu-pintu rumah di Dusun Sade—atau bahkan seluruh bangunan rumah di perkampungan tradisonal Sasak lainnya—rata-rata dibuat rendah, yakni hanya sedada orang dewasa. Jadi bagi siapapun yang ingin memasuki rumah harus menunduk, terkecuali anak-anak kecil. Mungkin, ini semacam bentuk penghormatan kepada si empunya rumah.
Lebih masuk lagi, wisatawan akan segera paham bahwa rumah ini terbagi menjadi dua, yakni bale dalam dan bale luar. Ruangan bale dalam adalah ruang yang lebih pivat yang dilengkapi amben untuk tidur dan dapur berisi perlengkapan alat-alat memasak, sedangkan bale luar adalah ruang tamu dengan pintu bergeser. Meski ruang untuk menerima tamu, bale luar tak menyediakan kursi layaknya rumah-rumah pada umumnya. Yang menarik, antara bale luar dan bale dalam dihubungkan oleh anak tangga. Sejarah mencatat, cara beradaptasi orang Sasak terhadap ajaran Islam dapat dilihat pada jumlah anak tangganya. Dulu, anak tangga penghubung ini berjumlah tiga, sesuai kepercayaan nenek moyang mereka tentang wetu telu, dimana hidup manusia termaknai dalam 3 tahapan: lahir, berkembang, dan mati. Saat Islam masuk, wetu telu juga sering dimaknai waktu sholat yang hanya tiga hari sekali. Inilah yang sering disebut sebagai Islam Wetu Telu, yakni ajaran Islam yang telah berasimilasi dengan keyakinan Hindu dan animisme nenek moyang orang Sasak. Namun saat ini, ketika pemahaman Islam sudah mulai terbuka, dua anak tangga ditambahkan, guna menambah simbol jumlah waktu sholat yang kurang. Namun untuk menghargai tradisi dan adat, anak tangga keempat dan kelima tidak serta-merta ditambahkan selepas anak tangga ketiga, melainkan setelah diberi lantai kecil.
Selain itu, yang mengherankan dan sekaligus unik, ternyata lantai rumah ini adalah campuran tanah, getah pohon, dan abu jerami yang kemudian diolesi kotoran kerbau. Mungkin wisatawan akan bertanya-tanya dan mengira kotoran ini akan menciptakan bau tidak sedap. Namun tidak, sebab rumah tersebut ditinggali jika kotoran kerbaunya telah mengering. Warga di dusun ini menganggap kotoran kerbau sangat berguna untuk menghindari kelembaman tanah. Selain rumah, di Dusun Sade ternyata masih ada bangunan-bangunan lain yang juga tak kalah menariknya, antara lain lumbung tempat menyimpan padi dan kandang (bare) ternak. Konon, bentuk lumbung padi inilah yang dijadikan simbol bangunan tradisional Lombok. Hampir seluruh bangunan dan gedung-gedung besar milik pemerintah, atap depannya selalu dibentuk menyerupai lumbung padi ini. Tak hanya itu, di dusun ini masih ada lagi bangunan yang menjadi bangunan khas masyarakat Sasak. Bangunan itu dalam bahasa lokal lazim disebut berugak. Berugak adalah sebuah bangunan panggung yang disangga oleh empat tiang (berugak sekepet) atau enam tiang (berugak sekenem). Berugak bentuknya sangat familiar, yakni tanpa dinding, tiangnya dari bambu, dan atapnya dari alang-alang—mirip pondok petani di tengah sawah. Di tempat inilah, para warga, baik wanita, lelaki dewasa, maupun anak-anak, biasa berkumpul (begibung), berbincang-bincang, serta bersantai selepas bekerja.
Dusun Sade memang penuh dengan citra tradisonal. Selain menyuguhkan bangunan-bangunan tradisional kepada wisatawan, Sade juga menawarkan keunikan lain, yakni hasil kerajinan tenun ikat. Para wanita di dusun ini adalah pelaku utama kerajinan ini, mereka tekun menenun dengan menggunakan alat sederhana dan tradisional sehingga menghasilkan kain yang indah. Bahan-bahan membuat kain tenun biasanya didapat di lingkungan sekitar dan kemudian diracik sendiri melalui proses yang lumayan lama sehingga menghasilkan sebuah kain tenun. Menurut cerita, dulu kaum perempuan di desa ini bekerja mulai dari mencari kapas yang tumbuh liar di kebun-kebun, memintalnya menjadi benang, dan kemudian menenunnya menjadi kain. Proses membentuk kapas menjadi benang ternyata lumayan lama, yakni kapas yang telah dipetik dijemur hingga kering, lalu dihaluskan dengan sebuah alat, dibentuk dengan cara menggulung menjadi benang, dan selanjutnya diberi pewarna alami dari tumbuhan. Untuk membuat selembar kain sarung, misalnya, dibutuhkan berpuluh-puluh gulungan benang dan proses menenun yang lama, yakni sekitar satu bulan. Sayangnya, saat ini tumbuhan kapas jarang ada. Namun, sekarang sudah ada penjual yang menjajakan benang yang telah jadi di pasar terdekat. Jadi, proses menenun pun bisa dipercepat. Kain tenun di Dusun Sade mempunyai motif bermacam-macam, seperti gambar rumah, bintang, dan manusia atau gambar abstrak.
Selain tenun, warga dusun ini juga menghasilkan beragam kerajinan aksesoris dan suvenir seperti gelang, kalung, gantungan kunci, dan lain-lain. Akasesori-aksesori ini rata-rata bermotif cecak, hewan yang dianggap sebagai simbol keberuntungan. Baik kain tenun maupun aksesori seperti gelang, kalung, dan gantungan kunci biasanya dijajakan pada etalase kios yang sebagian menyatu dengan rumah warga. Di kios-kios inilah wisatawan dapat membeli cenderahati untuk oleh-oleh keluarga maupun sanak saudara.
Wanita Sade sedang memintal benang
Sumber Foto: Vincent Wautelet
Jika beruntung, yakni kunjungannya bertepatan dengan upacara pernikahan salah satu warga, wisatawan juga bisa menyaksikan ritual nikah yang relatif masih mempertahankan adat-istiadatnya. Di acara ini gendang belek ditabuh bertalu-talu, saat mempelai pria-wanita diarak warga menuju tempat penyelenggaraan pesta. Gendang belek adalah gendang tradisional khas Lombok yang ukurannya lebih besar daripada gendang pada umumnya. Dulu, dalam adat pernikahan masyarakat Sasak dikenal istilah merarik yang berarti kawin lari. Kawin lari konon dianggap sebagai sebuah perkawinan yang berharga, karena mempelai lelaki dianggap mempunyai keberanian dalam memperjuangkan cintanya. Pada Tahun 1970-an merarik masih banyak dijalankan oleh masyarakat Lombok, namun kini perkawinan yang dimulai dengan melarikan mempelai wanita sudah jarang, atau malah (mungkin) sudah tidak ada lagi. Yang masih tersisa, khusus di Dusun Sade, adalah dalam acara perkawinannya dibutuhkan adat yang rumit, mahar, dan upacara-upacara dengan biaya yang mahal. Sekali acara, puluhan gram emas dan beberapa kerbau dipersembahkan. Oleh karenanya, jarang ada lelaki luar Sade menikahi gadis asli kampung. Akibatnya, pernikahan yang terjadi di dusun ini adalah pernikahan antar saudara.
Sekiranya sudah cukup puas mengunjungi Dusun Sade, pengunjung juga dapat melanjutkan perjalanan wisatanya ke Pantai Kuta di pulau Lombok. Perlu diingat, ternyata di Pulau Lombok juga terdapat Pantai Kuta, yang berbeda dengan Pantai Kuta di Bali. Jaraknya cukup dekat, yakni sekitar tujuh kilometer dari Dusun Sade. Selain itu, banyak yang bilang jika berkunjung ke Lombok Tengah kurang mantap jika tak menyaksikan Festival Bau Nyale yang diselenggarakan tiap bulan akhir Februari hingga Maret. Urutannya dimulai dari mengunjungi Dusun Sade, Pantai Kuta, terus ke Tanjung Aan, kemudian menikmati Festival Bau Nyale.
C. Lokasi
Dusun Sade terletak di Desa Rambitan, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Indonesia.
D. Akses
Menuju Dusun Sade cukup mudah, karena dusun ini hanya berjarak 70 kilometer dari Kota Mataram. Di Kota ini terdapat Bandara Selaparang dan beberapa pelabuhan yang menyebar di Pulau Lombok, seperti Pelabuhan Lembar, Pelabuhan Labuhan Haji, Pelabuhan Tanjung Luar dan Pelabuhan Lombok. Jika wisatawan bertolak dari Pulau Bali, wisatawan dapat berangkat dengan menggunakan pesawat terbang dari Bandara Ngurah Rai Denpasar menuju Bandara Selaparang di Mataram (Ibu Kota NTB), yang hanya memerlukan waktu sekitar 15 menit saja. Selain dari Bali, wisatawan juga dapat menempuh perjalanan udara dari kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Bali, dan Yogyakarta. Dengan menggunakan pesawat terbang dari salah satu kota tersebut, wisatawan akan sampai ke Bandara Selaparang, Mataram. Dari Kota Mataram (Terminal Mandalika), wisatawan langsung dapat menuju Praya (Ibu Kota Kabupaten Lombok Tengah) dengan menggunakan transportasi umum. Setelah sampai di Praya, Pengunjung bisa menyewa mobil atau menggunakan jasa ojek menuju Dusun Sade, yang hanya butuh waktu sekitar setengah jam.
Selain jalur udara, wisatawan juga dapat menempuh jalur laut, yakni berangkat dari Pelabuhan Padang Bay di Bali dengan menggunakan kapal feri menuju Pelabuhan Lembar di Pulau Lombok. Dalam perjalanan, wisatawan akan dimanjakan dengan panorama alam yang indah dan juga munculnya ikan lumba-lumba yang saling berkejaran mengikuti kapal. Perjalanan Padang Bay—Lembar dengan kapal feri memakan waktu sekitar 4 jam. Setelah sampai di Pelabuhan Lembar, wisatawan dapat melanjutkan perjalanan ke Kota Mataram. Dari Kota Mataram, dapat langsung menuju Dusun Sade.
E. Harga Tiket
Wisatwan yang berkunjung ke Dusun Sade tak dipungut biaya apapun.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Di Dusun Sade terdapat beberapa kios cenderamata dan mushola bagi wisatawan yang ingin menjalankan sholat. Yang unik, mushola-mushola di kampung ini bertiang bambu dan beratap rumbia, serta tak memiliki jendela.
Home »
Wisata Lombok Area
» Dusun Sade
Dusun Sade
Written By Unknown on Oct 18, 2011 | Tuesday, October 18, 2011
KatEgorI
Wisata Lombok Area
0 Komentar:
Post a Comment