Dalam jangka waktu yang amat lama, wacana publik kita ditandai oleh kekerasan
yang memperkuda kedamaian. Tidak hanya setelah republik ini merdeka, jauh
sebelumnyapun sejarah kita sudah ditandai oleh wajah- ajah kekerasan di sana-sini.
Di Jawa Barat sana, banyak orang yang tingkat penghormatannya lebih rendah di
bandingkan daerah Jawa lainnya terhadap nama Gajah Mada. Apa lagi yang ada di
balik ini semua kalau bukan sejarah kekerasan. Sejarah masa penjajahan apa lagi.
Bercak dan aliran darah ada di mana-mana. Dulunya, setelah kemerdekaan direbut
dan pembangunan dijalankan, diharapkan bercak dan aliran darah bisa dihilangkan.
Nyatanya, baik di masa orde lama, orde baru, bahkan sampai sekarangpun ia masih
menjadi berita di hampir setiap media. Ambon, Poso, Aceh, Irian Jaya, Jakarta
hanyalah sebagian saja dari sekian banyak kekerasan mengerikan, tapi menjadi
santapan wacana yang digemari. Belum lagi ditambah dengan kekerasan-kekerasan
tersembunyi lainnya. Industri keuangan dan perbankan yang dirampok orang di
sana-sini. Uang negara yang dijarah dari dulu hingga sekarang. Hubungan industrial
yang ditandai banyak demonstrasi, pemogokan, pembakaran dan sejenisnya. Dan
deretan panjang kekerasan lainnya.
Entah mana yang lebih mewakili. Sejarah manusia yang memang membawa
kekerasan ke mana-mana, atau karena publik lebih tertarik dengan topik-topik
kekerasan. Yang jelas, sulit diingkari kenyataan, semakin banyak berita kekerasan
muncul dalam wacana publik, semakin laris medianya, serta semakin banyak orang
mau membaca dan terlibat wacana.
Anda mungkin sudah mahfum, beberapa tokoh publik dan organisasi masyarakat "
kalau tidak mau dikatakan kebanyakan " malah "mendulang" hasil dari kekerasan.
Buktinya, setelah kekerasan muncul, mereka muncul sebagai pahlawan, penyelamat,
bahkan ada yang menjadi penguasa baru. Kadang saya malah bertanya penuh
keraguan, tidakkah rezim yang sedang berkuasa ini adalau output dari mesin
raksasa yang bernama kekerasan? Kalau mesinnya mesin kekerasan, adilkah kalau
kita mengharapkan output kedamaian dari sana?
Anda jawab sendirilah pertanyaan-pertanyaan penuh keraguan tadi. Yang jelas,
dengan resiko ditertawakan orang, ada tidak sedikit orang yang berharap agar
kedamaian diberi kesempatan untuk berbicara. Boleh saja dia tidak menarik selera
wacana banyak orang. Tidak membuat media menjadi laris manis. Tidak juga
menghasilkan pahlawan dan penyelamat. Akan tetapi, bukankah menjadi hak azasi
setiap orang untuk hidup damai?
Dibandingkan terlalu banyak bertanya, mari kita sama-sama ulas persoalan
dianaktirikannya kedamaian oleh kekerasan. Mereka yang diteropong oleh Naisbitt
masuk ke dalam kotak spirituality yes, formal religion no, mungkin menyebut agama
telah gagal. Mereka yang antikekuasaan akan menunjuk hidung kekuasaan sebagai
biang keladi. Pemerhati pendidikan lain lagi, mereka menuduh lembaga terakhir
sudah tidak berfungsi lagi sebagai pembawa misi perdamaian.
Izinkan saya meneropong persoalan ini di tingkat individu. Ada sebuah kualitas
pribadi yang berperan besar dalam memproduksi kekerasan. Dia bernama Aku.
Dalam keakuan, banyak sekali hal yang sebenarnya berasal dari kedamaian
sekalipun, bisa berubah menjadi kekerasan. Bibit-bibit keakuan terakhir bisa
bersumber dari keyakinan dan perasaan benar, harga diri yang tinggi, keserakahan
akan harta dan tahta, dll. Coba bayangkan sepasang suami isteri yang sudah sejak lama hidup damai di hutan tanpa gangguan berarti. Suatu hari, ada kebutuhan untuk
sekali-sekali bertengkar satu sama lain. Dan sepakatlah mereka untuk memulai
pertengkaran. Sang isteri berkata dengan nada membentak: "ini ketela kesukaanku!".
Dan suaminya berfikir sejenak, kemudian menjawab dengan penuh kesabaran: "ya
itu memang kesukaanmu, dan marilah kita makan sama-sama seperti biasa". Maka,
batallah pertengkaran yang sudah direncanakan terlebih dahulu ini.
Cerita ilustratif ini menunjukkan, keakuan memang sudah menjadi sumber
pertengkaran di mana-mana. Namun, kesediaan dan kesabaran untuk senantiasa
awas dengan keakuan tadi, sudah dan akan terus membantu proses menuju
kedamaian. Bedanya dengan kekerasan yang datang tanpa diundang, kedamaian
memerlukan "undangan" khusus agar dia datang. Demikian khususnya, sehingga
memerlukan biaya yang amat besar.
Salah satu laporan majalah Fortune, (maaf saya lupa edisinya) pernah melaporkan
sebuah kecenderungan yang mereka sebut dengan the new corporate mystiques.
Ternyata, apa yang mereka sebut dengan mistik-mistik baru dunia usaha adalah
kecenderungan sejumlah raksasa usaha di sana, untuk mengundang sejumlah rahib
Buda sebagai pelatih. Bukan untuk mengajak orang masuk agama Buda. Melainkan,
mengajari ekskekutif hidup dalam kedamaian.
Kedamaian (demikian mereka meyakini) adalah syarat utama dari produktivitas.
Dalam kedamaian, kita bisa melakukan dan mencapai lebih banyak hal. Mirip
dengan keluarga di rumah, apa yang bisa kita capai kalau setiap hari isinya hanya
pertengkaran? Ada yang bertanya, bukankah kedamaian akan lebih terasa
nikmatnya kalau kita pernah mengalami kerusuhan ? Tentu saja. Sebab, kehidupan
merupakan hasil dari dialektika. Dan dialektika terakhir, sulit diharapkan berhasil
optimal kalau salah satunya jauh lebih dominan dibandingkan yang lain. Mirip
dengan kehidupan kita sekarang-sekarang ini, terutama dengan hadirnya kekerasan
di banyak pojokan ruang publik.
Akankah kita biarkan kedamaian menjadi kuda bisu yang ditunggangi kekerasan?
0 Komentar:
Post a Comment