Salah satu jenis film tontonan yang kerap saya lihat dulu ketika berumur masih amat
muda, adalah perjalanan sejumlah orang mencari harta karun di tempat yang amat
jauh. Menarik, seru dan menegangkan, itulah alasan kami ketika itu duduk di bioskop
atau di depan tv ber jam-jam. Menarik, karena menghadirkan pengalaman perjalanan
yang disertai pemandangan daerah pedalaman yang indah. Seru, sebab disertai
adegan-adegan yang susah ditebak arahnya. Menegangkan, terutama karena
serangkaian tantangan berat senantiasa menghadang di depan mata.
Ketika itu, tidak pernah terbayangkan sedikitpun kalau perjalanan hidup ini amat
serupa dengan perjalanan mencari harta karun. Menarik, tentu saja karena
pemandangan-pemandangan yang hadir di depan mata demikian bervariasi.
Demikian menarik dan asiknya, sampai-sampai ada banyak sekali orang yang tidak
sadar kalau satu tahun sudah berlalu. Atau tiba-tiba baru sadar kalau umur sudah
tua, terutama setelah melihat putera-puteri beranjak dewasa. Disamping
mengasikkan, ada tidak sedikit manusia yang amat takut kematian. Apa lagi
sebabnya kalau bukan karena daya tarik sang hidup yang demikian memikat.
Disamping menarik, perjalanan sang hidup juga seru, sebab tidak jarang terjadi kita
harus ‘berperang’ dengan banyak kekuatan. Ada perang melawan diri sendiri, ada
perang melawan ketidakjujuran, ada perang melawan ketertindasan, dan masih
banyak lagi perang lainnya. Dan terakhir tentu saja juga menantang, secara lebih
khusus karena tidak seorangpun tahu bagaimana persisnya wajah masa depan.
Tiba-tiba tanpa persiapan memadai ia hadir di depan mata.
Bedanya, kalau dalam film-film di atas, jelas dan tegas harta karunlah yang
digunakan sebagai sasaran buruan. Dalam perjalanan kehidupan, sasaran
buruannya disamping berbeda dari satu orang ke orang yang lain, juga bergerak dan
berubah sejalan dengan kedalaman renungan masing-masing.
Ada memang sekumpulan manusia yang seluruh hidupnya hanya digunakan mencari
harta dan tahta. Dan bahkan sampai di ujung kehidupanpun masih menangisi harta
yang ditinggalkan. Di bagian lain, ada juga manusia yang sama sekali tidak perduli
akan harta dan tahta. Satu-satunya yang ia perdulikan hanyalah perjalanan menuju
Tuhan. Di antara dua kutub ekstrim ini, kadang ada sisa-sisa renungan yang tercecer.
Sekaligus menghadirkan pertanyaan mendasar, apakah yang kita cari dalam
perjalanan hidup yang demikian melelahkan ini?
Bagaimana tidak melelahkan, saya menghabiskan hampir dua puluh tahun duduk di
bangku sekolah formal. Bergelut dengan kehidupan kerja hampir enam belas tahun.
Berkelana dalam kehidupan pernikahan yang banyak godaan telah delapan belas
tahun. Tidak sedikit di antaranya diwarnai air mata kesedihan, perang hati nurani,
bahkan kadang mengancam nyawa. Dalam rangkaian perjalanan seperti ini, sangat
layak kalau bertanya ulang, apa yang kita cari?
Entah sampai di tataran pemahaman mana perjalanan Anda sejauh ini, tetapi
semakin saya selami dan dalami, semakin saya tahu kalau hidup adalah sebuah
perjalanan ke dalam diri. Berbeda dengan harta karun yang harus kita cari, dan
membawa kemungkinan terbukanya sebuah penemuan, harta karun kehidupan ada
pada proses belajar. Ya sekali lagi ada pada proses belajar. Bukan pada tujuan
akhirnya. Ini penting untuk dipahami dan didalami, karena perjalanan menemukan
diri sendiri adalah sejenis perjalanan yang tidak mengenal garis finish.
Karena tidak ada titik akhirnya inilah, maka saya menaruh banyak hormat kepada
sejumlah pilosopi timur yang menekankan pentingnya hidup di hari ini (living in the
now). Tidak sekadar hidup berfoya-foya dan menghabiskan kenikmatan tentunya.
Melainkan, hidup penuh kesadaran dan rasa syukur. Pada kesempatan lain, saya
memang pernah mengutip tingkatan-tingkatan manusia ala seorang sahabat
pengusaha. Dari manusia bodoh, pintar, licik sampai dengan manusia beruntung.
Dan konon manusia beruntunglah yang tidak bisa dikalahkan oleh manusia licik.
Bercermin pada pentingnya hidup penuh kesadaran di hari ini, ada manusia yang
lebih berbahagia dibandingkan manusia yang beruntung, yakni manusia yang tidak
lagi terikat pada apapun. Ketika dipuja karena berada di atas, ia yakin harta dan
tahtalah yang dipuja orang. Tatkala dihina karena jatuh ke lumpur kehidupan,
ketiadaan harta dan tahta yang membuatnya jadi demikian. Dengan kata lain, diri ini
yang sebenarnya tidaklah pernah disentuh pujian dan makian. Oleh karena itu,
kenapa mesti gembira ketika dipuji dan menangis ketika dimaki? Demikianlah pilihan
sikap manusia-manusia langka yang sudah bebas dari keterikatan.
Tidak ada satu kekuatanpun yang bisa mendikte orang jenis terakhir. Ketika sibuk
dalam kerja ia menikmati kerjanya dengan suka cita. Tatkala PHK menghadang ia
habiskan waktunya untuk belajar pilosopi dan agama. Mana kala anak-anak masih
kecil, kita ajak mereka hidup dalam tawa dan canda. Dan bila mereka sudah besar
dan mandiri, kalau dibantu hidup syukur, kalau tidak dibantu bisa jadi jalan hidup
sudah seperti itu.
Dalam hidup yang tidak lagi dibelenggu keterikatan, yang ada hanyalah kebebasan
dan keikhlasan di depan Tuhan. Entah Anda setuju entah tidak, sampai dengan
perjalanan hidup saya sekarang, inilah berkah dan harta karun terbesar yang pernah
diberikan ke saya. Dengan kerendahan hati di depan Tuhan, saya hanya bisa
berucap lirih: "terima kasih Tuhan!".
0 Komentar:
Post a Comment