MENJADI besar tanpa penderitaan sekaligus cacian orang, itulah kemauan banyak
sekali anak muda. Dan kalau memang kehidupan seperti itu ada, tentu ada terlalu
banyak manusia yang juga menginginkannya. Sayangnya wajah kehidupan seperti
ini tidak pernah ada. Sehingga jadilah cita-cita menjadi besar tanpa penderitaan
hanya sebagai khayalan manusia malas yang tidak pernah mencoba.
Ini serupa dengan khayalan seorang sahabat Amerika yang bertanya: kenapa Yesus
tidak lahir di Amerika di abad ke-21 ini? Rekan lainnya sesama Amerika menimpali
sambil bercanda: memangnya ada wanita Amerika yang masih perawan? Namanya
juga canda, tentu tidak disarankan untuk memikirkannya terlalu serius. Apalagi
tersinggung. Namun bercanda atau tidak, serius atau sangat serius, kisah-kisah
manusia kuat dan terhormat hampir semuanya berisi kisah-kisah penuh cacian
sekaligus penderitaan. Sebutlah deretan nama-nama mengagumkan seperti Nelson
Mandela, Mahatma Gandhi sampai dengan Dalai Lama. Semuanya dibikin kuat
sekaligus terhormat oleh penderitaan.
Mandela menjadi kuat dan terhormat karena puluhan tahun dipenjara, disakiti serta
diasingkan. Sekarang, ia tidak saja dihormati dan disegani namun juga menjadi
modal demokrasi yang mengagumkan bagi Afrika Selatan. Gandhi besar dan
menjulang karena terketuk amat dalam hatinya oleh kesedihan akibat diskriminasi
dan penjajahan. Dan yang lebih mengagumkan, tatkala perjuangannya berhasil, ia
menolak memetik buah kekuasaan dari hasil perjuangannya yang panjang, lama
sekaligus mengancam nyawa.
Dalai Lama apa lagi. Di umur belasan tahun kehilangan kebebasan. Menginjak umur
dua puluhan tahun kehilangan negara. Dan sampai sekarang sudah hidup di
pengungsian selama tidak kurang dari empat puluh lima tahun. Setiap hari menerima
surat sekaligus berita menyedihkan tentang Tibet. Lebih dari itu, negaranya Tibet
sampai sekarang kehilangan banyak sekali hal akibat masuknya pemerintah Cina.
Namun sebagaimana sudah dicatat rapi oleh sejarah, daftar-daftar kesedihan Dalai
Lama ini sudah berbuah teramat banyak. Menerima hadiah nobel perdamaian di
tahun 1989. Setiap kali berkunjung ke negara-negara maju disambut lebih meriah
dari penyanyi rock yang terkenal. Karya-karyanya mengubah kehidupan demikian
banyak orang. Sampai dengan julukan banyak sekali pengagumnya yang
menyimpulkan kalau Dalai Lama hanyalah seorang living Buddha.
Hal serupa juga terjadi dengan tokoh wanita mengagumkan bernama Evita Peron.
Belum berumur sepuluh tahun keluarganya berantakan karena ayahnya meninggal.
Kemudian menyambung kehidupan dengan cara menjadi pembantu rumah tangga.
Bosan jadi pembantu kemudian menjadi penyanyi bar. Dan bahkan sempat diisukan
miring dalam dunia serba gemerlap ini. Pernikahannya dengan Juan Peron tidak
mengakhiri penderitaan, malah menambah panjangnya aliran sungai air mata.
Namun kehidupan Evita Peron demikian bercahaya. Tidak saja di Argentina ia
bercahaya, di dunia ia juga bercahaya.
Salah satu guru meditasi mengagumkan di Amerika bernama Pema Chodron. Tidak
saja bahasanya sederhana, pengungkapan idenya juga mendalam. Namun
kekaguman seperti ini juga berawal dari kesedihan mendalam. Sebagaimana yang ia
tuturkan dalam When Things Fall Apart, perjalanan kejernihan Pema Chodron mulai
dengan sebuah kesedihan yang tidak terduga: suaminya mengaku jatuh cinta pada
wanita lain dan minta segera cerai. Bagi seorang wanita setia, tentu saja ini seperti petir di siang bolong. Namun betapa menyakitkan pun beritanya, hidup harus tetap
berjalan.
Dari sinilah ia belajar meditasi dari Chogyam Trungpa. Dan ini juga yang
membukakan pintu kehidupan yang mengagumkan belakangan. Sehingga di salah
satu bagian buku tadi, Chodron secara jujur mengungkapkan kalau mantan
suaminya yang di awal seperti mencampakkan hidupnya, ternyata seorang pembuka
pintu kehidupan yang mengagumkan.
Cerita Thich Nhat Hanh lain lagi. Tokoh perdamaian asli Vietnam ini mengalami
banyak sekali pengalaman getir ketika perang Vietnam. Kalau soal hampir mati, atau
hampir diterjang peluru panas sudah biasa. Namun tatkala membawa misi
perdamaian ke Amerika, ternyata pemerintah Vietnam melarangnya kembali ke
Vietnam. Dan sejak puluhan tahun yang lalu Thich Nhat Hanh bermukim di Prancis.
Dan penderitaan serta kesedihan-kesedihan yang mendalam ini juga yang membuat
nama Hanh demikian dikenal dan menjulang. Pernah dinominasikan sebagai
pemenang hadiah Nobel perdamaian, dihormati di banyak sekali negara, dan karyakaryanya
lebih dari sekadar mengagumkan.
Daftar panjang tokoh-tokoh kuat sekaligus terhormat, yang dibuat besar oleh
penderitaan dan cacian orang masih bisa diperpanjang. Namun semua ini sedang
membukakan pintu kehidupan yang amat berguna: penderitaan dan cacian orang
ternyata sejenis vitamin jiwa yang membuatnya jadi menyala. Ini mirip sekali dengan
judul sebuah buku indah yang berbunyi: Pain, the Gift that Nobody Want. Rasa sakit,
penderitaan, cacian orang hampir semua manusia tidak menghendakinya. Tidak saja
lari jauh-jauh, bahkan sebagian lebih doa manusia memohon agar dijauhkan dari
penderitaan, cacian sekaligus rasa sakit.
Namun daftar panjang kisah manusia seperti Dalai Lama, Pema Chodron sampai
dengan Thich Nhat Hanh ternyata bertutur berbeda. Hanya manusia-manusia yang
penuh kesabaran dan ketabahan untuk tersenyum di tengah cacian dan penderitaan,
kemudian jiwanya menyala menerangi kehidupan banyak sekali orang.
Ternyata, penderitaan dan cacian orang – di tangan manusia-manusia sabar dan
tabah – bisa menjadi bahan-bahan yang memproduksi kekaguman orang kemudian.
Persoalannya kemudian, di tengah-tengah sebagian lebih wajah kehidupan yang
serba instant, punyakah kita cukup banyak kesabaran dan ketabahan?
0 Komentar:
Post a Comment