1. Situasi Terkini
Setelah mengalami proses peningkatan terus menerus sejak pertama kali dirintis pada tahun 1970-1980an, agroindustri tembakau mengalami hantaman kerugian luar biasa di tahun 2010. Berdasarkan laporan dari gudang-gudang besar, hanya 30% krosok tembakau dari kuota tahun 2009 yang dapat dipenuhi di tahun 2010. Secara kualitas juga jauh lebih menurun dikarenakan beberapa faktor: perubahan iklim yang sangat ekstrim dan kegagalan konversi bahan bakar pengomprongan tembakau. Kerugian besar semacam ini tidak hanya terjadi di lombok namun juga terjadi di daerah penghasil tembakau lainnya di Indonesia, seperti di Tumanggung, Jawa Tengah.
Tembakau merupakan komoditas yang takut air. Jika berada di tanah yang tergenang akan terjadi “mokang”, dimana daun dan pohon tembakau melemas karena menyerap terlalu banyak air. Jika hal ini terjadi, pada kasus terburuk ketika tergenang dalam waktu yang cukup lama, tembakau layu kemudian mati. Jika penggenangan terjadi sementara, maka akan mengganggu pertumbuhan dan menurunkan kualitas daun. Oleh karena itu maka musim anam tembakau dilakukan di musim kemarau, yaitu bulan Mei-Oktober. Karena terlalu banyak hujan pada periode penanaman tersebut, maka terjadi kerugian luar biasa bagi para petani tembakau di Indonesia pada tahun 2010. Kerugian yang diakibatkan di lombok secara total dapat mencapai ratusan milyar rupiah.
Selain permasalahan diatas, konversi bahan bakar dari minyak tanah juga terhitung gagal. Hal ini terutama disebabkan karena sebagian dari petani tetap berharap akan ada perubahan kebijakan, sehingga tetap akan ada alokasi minyak tanah non-subsidi untuk petani tembakau. Kondisi ini menyebabkan para petani menjadi seolah enggan untuk beralih ke gasifikasi berbahan bakar batubara. Selain itu, disinyalir ada penghasutan dari oknum-oknum yang berusaha mengambil keuntungan dari kekisruhan tersebut. Sengga banyak terjadi demonstrasi-demonstrasi yang menuntut minyak tanah bersubsidi untuk pengomprongan tembakau. Padahal, sudah dari tahun 2007, kebijakan pengurangan subsidi dan konversi ini telah disosialisasikan.
Patut kita perhatikan, pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan besar dari kisruh bahan bakar tersebut. Sebagai contoh, adanya kisruh bahan minyak tanah bersubsidi untuk pengomprongan tembakau ini akan sangat menguntungkan distributor minyak tanah. Bagi mereka yang curang, mereka bisa menjual minyak tanah bersubsidi seharga diatas Rp10.000,- dari harga eceran seharusnya yaitu Rp.3.500,-. Karena ketidaksiapan petani untuk melakukan konversi maka mau tidak mau mereka harus merebut jatah rumah tangga, sehingga minyak tanah menjadi langka dengan harga sangat mahal. Masyarakat non-petani tembakau juga turut menanggung kerugian besar. Hal inilah yang memicu terjadinya beberapa tindak kriminal seperti penyandraan mobil tangki minyak tanah.
Langka dan tingginya harga minyak tanah menyebabkan petani juga sempat beralih ke bahan bakar cair lainnya yaitu solar dan bensin. Kekacauan juga sempat terjadi akibat hal tersebut. Stok-stok bensin dan solar di depot-depot pertamina juga habis tersedot untuk pengomprongan tembakau. Kegaduhan ini menjadi merambat merusak aktifitas transportasi baik pribadi maupun umum karena kelangkaan bahan bakar.
Bagi petani yang menggunakan kompor gasifikasi batubara juga mengalami banyak kendala. Minimnya sosialisasi penggunaan gasifikasi batumengenai teknis dan prosedur penggunaan tungku gasifikasi batubara menyebabkan mereka tidak trampil menggunakannya. Apalagi, layanan purna jual dari bengkel penyedia juga hampir tidak ada. Petani langsung mengambil dari kantor-kantor desa atau kecamatan dan langsung menggunakannya tanpa mendapatkan pelatihan terlebih dahulu. Hal ini menyebabkan banyak terjadi kesalahan penggunaan yang berakibat sangat fatal. Belasan oven tembakau terbakar akibat kesalahan teknis pengoperasian tungku gasifikasi batubara mengakibatkan kerugian luar biasa bagi petani tembakau.
Petani tembakau juga sangat kesulitan mendapatkan batubara dengan spesifikasi standard ketika dibutuhkan. Ketika benar-benar dibutuhkan, tiba-tiba saja batubara lenyap dari pasar. Beberapa suplier batubara telat mendatangkan barang mereka sehingga terpaksa harus tertumpuk di pelabuhan. Kesulitan mendapatkan batubara ini juga menyebabkan meningkatnya harga sehingga batubara menjadi opsi yang kurang ekonomis sebagaimana perhitungan awal. Harga batu bara naik dari patokan awal Rp1.200 menjadi Rp.2.500, bahkan lebih tinggi. Akibatnya, petani kembali menggunakan kayu bakar. Ribuan areal hutan ditebas, pohon-pohon asam juga menjadi incaran utama. Hal ini tidak hanya terjadi di lombok namun juga menjalar ke pulau sumbawa. Karena dalam keadaan terdesak, petani bias membeli satu batang pohon asam seharga 2-3 juta rupiah. Hal ini dikarenakan petani hanya percaya bahwa hanya pohon asamlah yang dapat menaikkan panas sesuai denan kebutuhan pengomprongan.
Selain itu, kualitas tungku gasifikasi batubara juga patut menjadi perhatian. Tungku-tungku diproduksi dalam jumlah banyak dan dalam tempo singkat. Lebih dari 10 ribu tungku dipesan oleh pemerintah melalui tender dalam waktu yang sangat mepet (beberapa bulan). Ini menyebabkan bengkel-bengkel produksi menjadi kelabakan dan kulitas barang menjadi kurang maksimal. Akibatnya, tidak sedikit petani yang membongkar tungku mereka dan hanya mengambil bagian-bagian tertentu yang mereka bisa gunakan. Dengan demikian tungku yang diperkirakan memiliki usia pakai 3-5 tahun tersebut harus rusak bahkan sebelum sempat digunakan. Hal ini juga ditunjang karena belum adanya standar nasional indonesia (SNI) untuk tungku gasifikasi batubara, sehingga sangat menyulitkan pelaksana tender. (Bersambung)
0 Komentar:
Post a Comment